Rahasia Sebuah Rasa

BAGIAN 1

TENTANG AKU, KAU DAN DIA

Dedaunan perlahan berubah warna


10 tahun yang lalu 

Suatu hari di bulan Februari tahun 2010.

Nadia terisak. Bulir air mata mulai terbendung penuh tampak akan segera jatuh. Cepat-cepat ia mengambil tissue yang berada disampingnya dan mendaratkannya di kedua matanya.

Sesaat kemudian Nadia menyambar gawai didepannya. Segera mengetik pesan dan mengirimnya.

Nadia : Bim ... aku kayaknya ngga sanggup lagi mau nerusin ini 😣😢

Bima : Kenapa lagi?

Nadia : Dao Ming Tse selingkuh😭

Bima : Dao siapa? Kamu punya pacar?!

Nadia : Bukaan aku! Pacarnya san cai.

Bima : Ckckck. Itu siapa, sih?!

Nadia : Meteor Garden. Ih, kudet amat😭

Bima : Ya Allah! Kirain apa. Aku lagi nyetir.

Nadia : Jemput, dong. Sekalian traktir makan. 😁

Bima : Siap-siap.

Raut muka Nadia pun berubah menjadi ceria. Ia segera menutup laptopnya dan bergegas berganti baju. Ah, Bima memang sahabat sejatinya. Apa saja permintaan Nadia selalu saja diturutinya. Rasanya sudah cukup memilikinya sebagai seorang sahabat, ketimbang punya pacar yang belum tentu bisa menuruti kemauannya. Haha ...

Nadia dan Bima sudah saling mengenal cukup lama. Sejak dibangku SMP. Lanjut SMA, lalu kuliah tapi berbeda jurusan - Nadia jurusan Akutansi sedangkan Bima jurusan HI. Teman curhat, teman bolos, teman gotong-royong, teman huru hara, dan teman traktir tentunya. Pokoknya Nadia dan Bima adalah pakle alias paket lengkap.

Yang belum mengenal mereka pasti menganggap mereka adalah sepasang kekasih. Jika ada cowok yang ingin PDKT dengan Nadia, Bima langsung auto berubah menjadi Black Panther. Mencari informasi tentang cowok itu, mengamati pergerakannya, apakah tulus dengan Nadia atau hanya untuk main-main, pokoknya Bima sangat protektif dengan Nadia. Begitupun sebaliknya dengan Nadia, dia akan menyeleksi cewek-cewek siapa saja yang ingin PDKT dengan Bima. Dan herannya, baik Nadia maupun Bima merasa tidak keberatan dengan sikap masing-masing.

Hanya saja, jika ada orang yang menyuruh mereka, kenapa lantas tidak pacaran saja, karena mereka sudah cocok, sudah lama mengenal satu sama lain, Bima langsung menampik ide itu, "Ngga usah aneh-aneh," katanya. Nadia angguk-angguk mengiyakan sambil manyun.

"Lapeer," kata Nadia seraya masuk ke dalam mobil Bima.

"Makan, kalau laper"

"Cuman sisa butiran debu di kulkas, hehe"

"Ya udah, habis makan langsung belanja buat seminggu"

"Iya iya bawel". Nadia menengok ke Bima. Dilihatnya Bima sedang serius mengetik pesan. Ia pun mendongak sedikit, ngintip. "Nia, ya?"

"Iya ...."

"Kenapa?"

"Pengen ngajak ketemu" jawab Bima sambil perlahan mulai menjalankan mobilnya.

"Terus?"

"Lah, nyonya kelaperan, terus aku kudu piye?"

"Ya Allah! Kenapa ngga ketemuan aja, sih?! Kan aku bisa nyupermi, bhambhang?"

"Engga. Kebetulan juga aku belum makan" jawab Bima santai.

"Hmmm ..., eh, tapi kenapa, sih, Nia cantik, pinter, anak Sulthan pula, terus aku setuju banget kamu sama Nia, kurang apa coba?"

"Kurang sreg, aja"

"Ya Allah ... Sombhong amat, sih. Banyak lho yang suka sama Nia. Sampe cintanya diobral pula buat kamu, doang. Rasa-rasanya kamu perlu diruqyah deh, Bim" kata Nadia sambil menyeringai

"Ngasal. Kalau sepatu ngga muat, biar bagus, terus mau tetep kamu beli, gitu? Itu tandanya sepatu itu ngga cocok buat kamu. Tapi buat kakinya orang lain"

"Idih, orang kok disamain sama sepatu. Kamu belum tahu ya, cinta datang karena terbiasa"

"Nah, itu kamu tahu, tapi ngga nyadar juga"

"Maksudnya?"

"Udah, deh. Kalau aku pacaran, nanti yang ngurusin kamu siapa,? Kalau kamu lapar, kalau kamu mau jalan, kalau kamu sakit"

"Daebak! Seriusan, Bim!"

"Aku serius!" seru Bima sambil terus fokus menyetir, mengindahkan Nadia yang untuk pertama kalinya merasakan sesuatu yang berbeda pada sahabatnya hari itu. "Tapi bohong, hahaha!" lanjut Bima memecah keheningan diantara mereka. Nadia dongkol, memicingkan matanya, lalu spontan meninju lengan Bima.

"Ngga lucu!"

~~~

Beberapa kilometer kemudian, akhirnya mereka sampai di salah satu mall di Kota Samarinda.

“Enaknya makan dimana ya, Bim?”

“Pisahat, gimana? Atau Bolaria?” sahut Bima memberikan opsi.

“Mmmmh… EFC aja deh!”

“Oalaah… ngga usah nanya kalo gitu, nyah!”

“Hahaha!”

Mereka pun segera berlalu menuju EFC (Enyak Fried Chicken). Nadia sibuk celingak celinguk mencari tempat duduk yang pas buat momen selfi dan Bima dengan sabarnya mengantri pesanan dengan berada di antrian ke 15.

BRUUK!

“Sabar ya, pak. Habis hujan terbitlah terang, hehe” hibur Nadia kepada Bima yang meletakkan makanan dan hampir saja menumpahkan seluruh isinya karena kesalnya mengantri tadi.

“Tobat makan disini. Bisa kena tifes kelamaan ngantri!”

“Huss! Omongan itu doa, lho”

“Lapar gueh nyah”

“Hehe, cup cup, foto dulu, yuk!”

“Always, deh” ucap Bima sedikit meledek.

“Eh, buat kenangan, Bakalan buat kita ceritain ke anak cucu kita nanti, Bim”

“Iya – iya”

Nadia pun segera mengambil pose bersama sahabatnya itu. Dan seperti biasa, Bima tak pernah mau menghadap kearah kamera.

“Terus gimana, kamu sama Mas Adi?” tanya Bima tiba-tiba mengalihkan fokus Nadia dari gawai-nya.

“Ah, ngga ada sms lagi, sih”

Seminggu sebelumnya…

Nadia tertegun. Pesan sms yang baru saja ia terima di siang itu sangat mengganggu konsentrasinya mengerjakan tugas akhir kuliahnya.

Mas Adi : Assalamualaikum, apa kabar?

Lama Nadia berpikir, apakah harus membalas pesan Mas Adi atau mengabaikannya saja. Teringat Bima yang sangat marah sekali ketika Mas Adi tiba-tiba saja menghilang dan meninggalkan Nadia dengan kesedihan yang dalam. Tapi, bukankah ia juga sangat penasaran, alasan Mas Adi menghilang setahun yang lalu.

Nadia : Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah baik. Ini Mas Adi?

Mas Adi : Iya. Nomorku ndak disimpan po?

Nadia : Masih disimpan. Mas Adi apa kabar?

Mas Adi : Alhamdulillah apik juga. Lagi kuliah, kah?

Nadia : Iya, lagi nyusun TA. Btw, Mas Adi sekarang dimana? Di Jogja bukan?

Mas Adi : Iya, aku sekarang di Jogja. Main kesini lho, ayo, kapan?

Nadia : Iya, eh, pengen banget kesana. Nanti tunggu ada dananya. Hehehe.

Mas Adi : Ayo sudah kesini, nanti biaya disini biar aku aja, Ta temenin mau kemana aja nanti.

Nadia menghela nafas panjang sekali. Kenapa susah sekali menanyakan perihal kepergian Mas Adi ke Jogja setahun lalu. Sekarang mereka malah asik berbalas pesan dan seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Nadia pun merasa senang, dan menikmati sekali waktunya bersama Mas Adi, barangkali, ini sudah waktunya untuk melupakan yang sudah-sudah dan saatnya membuka lembaran baru lagi, dan mungkin dia akan mengutarakan perasaannya yang sesungguhnya kepada Mas Adi selama ini. Ya, Nadia mencintai Mas Adi.

Mas Adi : Nad, aku mau jujur sama kamu boleh ndak?

Nadia : Boleh lah, Mas. Apa itu?

Mas Adi : Selama ini aku kagum sama kamu. Siapa sih yang ndak suka sama kamu. Kamu baik, pinter, cantik, putih, imut. Hehehe.

Saat itu, Nadia benar-benar berasa diatas awan. Walaupun Mas Adi tidak mengutarakan isi hatinya, yah, entah untuk sekedar bilang ‘I Love You’ saja sepertinya sudah terwakilkan dengan ungkapan perasaan kagum Mas Adi kepada Nadia selama ini. Dan entah mengapa, Nadia juga belum mengutarakan isi hatinya kepada Mas Adi pada saat itu. Begitulah isi pesan terakhir dari Mas Adi. Dan sampai saat ini, seminggu berlalu sudah, Nadia belum menerima kabar dari Mas Adi lagi.

“Telpon juga ngga ada?” tanya Bima lagi. Nadia mengerutkan dahi sambil menyedot sodanya. Bima pun bertanya lagi “Kamu ngga coba telpon?”. Nadia menunduk kali ini.

“Sibuk kali orangnya” jawab Nadia seadanya.

“Oh…”

“Btw, Nia jadi kesini, nggak?” Nadia mengalilhkan pembicaraan.

“Oh, suruh kesini, nih? Mmh… kebetulan ada sih anaknya di dekat sini”

“Nah, yaudah, suruh kesini aja, aku main di Omazone, deh, eh-eh, nanti aku pulang naik Mojek, deh” kata Nadia sambil menyedot habis sodanya.

“Apaan, sih. Kamu disini aja, ngapain pergi”

“Udah, ngga papa, sih, aku per-“ kata Nadia sambil beranjak pergi namun tangannya dengan cepat diraih Bima. Nadia melongo menatap Bima dan kemudian dengan cepat pandangannya berpindah ke pintu restoran. “Eh, itu Nia!” seru Nadia cepat sambil menghempas genggaman Bima darinya. Nadia melambai kearah Nia. Sejurus kemudian Nia datang dengan penuh senyum sumringah. Nadia pun ikutan sumringah kearah Bima yang sudah berdiri disampingnya, sembari ia menyomot gawai dari dalam tas-nya. Nampaknya ada pesan masuk. Nadia pun segera membuka dan membacanya. Nia sendiri langsung menghambur ke pelukan Nadia yang tengah memperhatikan gawainya. Tanpa senyum. Kaku.

Bima mulai terusik dengan wajah Nadia. Dia tahu ada sesuatu yang mengusik sahabatnya itu. Dan tanpa disengaja, Bima pun melihat isi pesan yang diterima Nadia.

Mas Adi : Mohon doa dan restu. Pernikahan Adi Bramantyo dan Wulandari. Ahad, 14 Februari 2010.


bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Curriculum Vitae

Rahasia Sebuah Rasa

Rahasia Sebuah Rasa