Rahasia Sebuah Rasa

Bagian II

Hati Yang Tersakiti

 "Apa kabar, Nad?" sapa Nia sambil memeluk erat tubuh Nadia, "Kangen, lama ngga ketemu, nih!" katanya lagi, masih memeluk Nadia.

"Eh, iya, alhamdulillah baik," jawab Nadia tersenyum. Nampak raut getir di wajahnya. Bima tampak kikuk karena kedatangan Nia, tapi sebenarnya dia lebih mengkuatirkan Nadia. 'Bangsat, kamu, Di!' batin Bima mengumpat, teringat pesan Mas Adi yang barusan dikirimkan kepada Nadia.

"Eh, aku duluan, ya, ngga apa-apa, kan, aku tinggal?" tanya Nadia kemudian. Bima menoleh cepat dan melotot ke arah Nadia, "Iyalah, masak aku jadi obat nyamuk, kan aku imuuut," kata Nadia masih sempat bercanda.

"Lah, kan, aku juga baru nyampe Nad," kata Nia dengan wajah sedihnya.

"Nah, itu dia, aku kebetulaaaan banget ini ada keperluan mendadak dangdut yang ngga bisa ditunda Nia," katanya, "Eh, kan ada babang, nih," kata Nadia sambil menyikut Bima. Nadia mendelik tajam kearah Bima, yang sedari tadi pasang wajah mode silent tanpa getar.

"Ah, terus mau pulang sama siapa? Katanya tadi mau belaaa.. aawww!" jerit Bima setelah dicubit Nadia.

"Aku balik duluan, yah, bye!" Nadia pergi secepat kilat dengan tak lupa menjejakkan ciuman di pipi kanan dan kiri Nia.

Nadia melangkah terburu-buru meninggalkan Bima dan Nia. Sembari berjalan, ia mencoba memastikan kembali isi pesan dari Mas Adi. Berkali-kali ia mengamati isi pesan itu, dan hampir saja menabrak orang-orang yang berpapasan dengannya. "Ah, maaf!" ujarnya setelah benar-benar menabrak seorang ibu yang sepertinya tengah membawa barang dagangannya yang akan dirapikan di etalase tokonya. Nadia berulang kali meminta maaf kepada ibu itu sambil ikut membantu membereskan barang dagangannya yang jatuh dan berserakan dilantai.

Ah, perasaan apa ini, batin Nadia. Rasa-rasanya sampai membuat tidak bisa bernafas. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Ia pun cepat-cepat membereskan dagangan ibu tadi, segera meminta maaf lagi, dan langsung pergi. Ia pun terus membatin Mas Adi. Apa yang sedang dilakukannya sekarang. Bisa-bisanya dia pergi lagi dengan cara seperti ini. Seminggu yang lalu, Mas Adi bak melambungkan Nadia hingga keawan. Ungkapan perasaan Mas Adi selama ini sudah menjadi obat kekesalannya dan berarti akan memulai awal yang baru lagi bersama Nadia-pikirnya waktu itu. Dan sampai akhirnya pun, Nadia mengurungkan niat awalnya untuk menanyakan kepergian mendadak Mas Adi setahun yang lalu.

Nadia belum mau pulang-saat ini. Sendirian dikamar kost malah akan menambah pikiran nantinya. Ia pun lebih memilih berjalan menelusuri deretan toko-toko, menikmati keramaian oleh suara riuh rendah para pengunjung mall di hari itu.

Ia pun lantas menengok gawainya. Terpampang 10 kali panggilan tak terjawab oleh Bima. Bukankah dia saat ini harusnya bersama Nia. Ngapain repot-repot telepon sama 10 kali begini, batin Nadia. Ah, Bima, aku butuh kamu saat ini.

Nadia kembali berjalan. Memutuskan untuk pulang kekost karena tidak mau diusir oleh security mall dan dikira penjahat. Sudah lama ternyata ia mendekam di mall itu-lebih dari enam jam rupanya. Sebelum pulang ia pun mampir sebentar ke toilet yang berada di lantai tiga. Tak berapa lama, masuk beberapa orang lagi ke dalam toilet itu. "Masih kepikiran deh, sama Bima!" kata suara wanita terkesan marah dari luar toilet. Nadia tidak jadi keluar, sepertinya dia mengenal suara itu, Nia. Penasaran, Nadia lalu mendekatkan telinganya ke dekat pintu.

"Gagal deh rencana." kata suara perempuan satu lagi.

"Iyalah!" kata Nia, "Aku curiga, deh, sama Nadia. Makanya Bima cepat-cepat mau pulang aja!" sambung Nia lagi.

"Kenapa sama Nadia?" tanya perempuan asing itu. Hmmm... sepertinya dia mengenaliku, batin Nadia.

"Aku ngga tahu juga, sih. Cuman Bima itu malah sibuk sama gawainya. Jadi ngga fokus ngomong sama aku. Berkali-kali telepon.... a-aku, sih, ngga tahu dia telepon siapa, cuman kayaknya ngga diangkat. Kayaknya sih, Nadia," kata Nia lagi.

"Eh, tahu ngga, sih, aku pernah dengar gosip soal Bima, yang katanya sebenarnya suka sama Nadia!" celoteh perempuan asing.

"Ah, seriusan?!"

"Iya, aku dengernya dari Wati. Eh, gebetan dia itu katanya pernah mau deketin Nadia. Terus, Bima datang. Katanya 'Jangan yang itu-Nadia maksudnya, dia punya ku, katanya, gitu"

"Ngaco! Mana ada gebetan mau jujur deketin cewek lain ke cewek yang deketin dia, hmm .... Tapi bisa jadi juga, sih, curcol gitu, aja, tapi masa, sih?!"

"Kalau aku, sih, percaya! Lihat aja, tuh, sikap Bima ke Nadia, bisa dibilang lebih kayak pacar ketimbang sahabat. Hmm, Nadia kok ngga nyadar, ya, kalau aku, sih, udah nyadar lama"

"Aduh, udah, deh! Aku ngga percaya, Nadia itu baik, ngga mungkin dia bohongin aku, lah. Tega banget kalau sampe dia bohongin aku. Maksudnya apa, coba? Promosiin sahabatnya sementara dia tahu sahabatnya itu suka sama dia," kata Nia terdengar bergetar suaranya. Sedih.

Nadia terpaku. Kali ini ia merasakan dingin di badannya. Dadanya juga terasa berdebar. Mencoba menyerap semua percakapan Nia dan temannya. Apa benar Bima, sahabatnya, sebenarnya menyukai dirinya?

Nadia bergegas turun setelah taksi yang membawanya sampai di depan ujung gang tempat kostnya berada. Berjalan pelan sambil menenteng sekeresek besar barang belanjaan. Entahlah, kakinya terasa lemah dan gontai untuk berjalan, perjalanan menuju ke kostnya dirasa sangat jauh dan melelahkan. Hari ini memang cukup berat buat Nadia, sebuah pesan pernikahan dari Mas Adi dan kenyataan yang belum tentu benar bahwa Bima, sahabatnya, menyukainya.

Tapi, bagaimana kalau Bima memang menyukainya? Kenyataannya selama ini Bima memang selalu ada buat Nadia. Kemanapun dan kapanpun, Bima selalu siap sedia untuknya. Sikap Bima yang penuh perhatian, melindungi, membuat Nadia nyaman berada bersamanya.

Satu yang aneh memang, Bima belum pernah sekalipun punya pacar. Padahal Bima terbilang populer di sekolah bahkan di kampus. Anaknya, sih, sedikit urakan, tapi penuh kharisma. Bahkan, Nia si anak Sulthan saja, cinta mati sama si Bima. Masa, sih, homo? batin Nadia bergumam. Senyum kecil terpampang diwajahnya.

Lantas, jika memang Bima menyukainya, bagaimana dengan perasaan Nadia sendiri? Ya, Nadia menyukai Bima, hanya sebatas sahabat. Selama ini memang Nadia sangat bergantung kepada Bima. Kemana-mana selalu bersama Bima, suka dan duka ada Bima, tempat curhat juga Bima. Sampai-sampai Nadia merasa bahwa tidak sanggup menjalani hidup jika tanpa Bima.

Degh!!! Degup jantung Nadia semakin berdebar-debar. Perasaan apalagi ini. Kenapa begitu menyakitkan. 'Ya Allah, apa aku mencintai Bima, sahabatku sendiri?' Nadia bergumam dalam hati. Perasaan yang sama dirasakan terhadap Mas Adi, muncul tiba-tiba untuk sahabatnya, Bima.

Tidak! Nadia tidak bisa menyukai Bima! Bagaimana dengan Nia? Apa yang akan dikatakan Nia kepadanya? Betapa sakitnya Nia jika mengetahui Nadia menyukai Bima. Bima tidak boleh tahu kalau Nadia menyukainya. Terlepas Bima menyukai atau tidak menyukai Nadia.

Nadia menyeka air matanya. Menggosok-gosok wajahnya yang terasa lelah dan sembab di mata. Sambil berjalan terhuyung dan kemudian tiba-tiba menjatuhkan keresek belanjaannya. "Bima...," kata Nadia setelah melihat Bima berdiri didekat tangga naik menuju kost-an Nadia. Bima pun segera berlalu menuju Nadia. Langsung memeluk Nadia dengan erat. Nadia terperangah. Hatinya semakin berdebar dan lemas.

"Menangislah, Nad," ujar Bima. Hatinya begitu sakit melihat sahabatnya, Nadia, wanita yang dikasihi dan dicintainya, menangis didepannya. Yah, Bima pun mencintai Nadia. Rasa-rasanya ingin sekali malam ini dia mengungkapkan perasaannya, yang dipendamnya cukup lama sekali. Tapi, perasaan takut jika Nadia akan menjauhi dirinya setelah tahu bahwa ia mencintai Nadia terlalu besar untuk nyalinya saat itu.

Nadia semakin menitikkan air matanya. Sebegitu rumitnya kah kisah percintaannya. Disaat dia berpikir jodohnya adalah Mas Adi, yang kini akan meminang gadis lain, ternyata dia melewatkan seseorang yang begitu dicintainya, Bima.

"Bagaimana ini, Bim, huhu...," kata Nadia tak sanggup meneruskan. Ucapannya tenggelam bersama tangisannya dan gerimis dimalam itu.

Yogyakarta

"Di ...," panggil suara perempuan tua dari samping rumah. Ibu Bramantyo, orang tua Adi, sedang sibuk membersihkan beberapa buah pot bunga mawar kesayangannya.

"Iya, Bu." jawab Adi dan segera menuju ke ibunya.

"Sudah kasih kabar ke Nadia?"

"Mmmh, belum, Bu."

"Jangan ditunda-tunda, toh, le, kasihan."

"Iya, Bu, hari ini Adi kasih kabar," kata Adi sedikit menunduk.

"Di, maafkan ibu. Jika dulu ibu ndak setuju sama permintaan bapaknya Wulan, untuk menjodohkan kamu dengan Wulan, mungkin kamu sudah bahagia sekarang sama Nadia, ibu salah, Di. Maafkan ibu." kata Ibu Bramantyo sambil terisak-isak.

Adi pun berlalu pergi setelah menenangkan ibunya. Adi adalah anak semata wayang. Ayahnya sudah meninggal semenjak Adi di bangku SMP. Kehidupan yang berat dilalui Adi dan ibunya. Dan, setelah Pak Aryo, bapaknya Wulan, menolong mereka dengan memberikan bantuan modal usaha, kehidupan mereka pun berangsur membaik, yang tentu saja harus ada yang dibayar kembali.

Adi duduk di pelataran teras rumahnya yang sejuk dipenuhi oleh beberapa pohon mangga dan rambutan yang rimbun dan lebat buahnya. Angin semilir bertiup lembut, menambah suasana dingin di hati Adi. Sudah berhari-hari mempersiapkan hati untuk memberi kabar tentang pernikahannya kepada Nadia. Setidaknya, dia sudah mengungkapkan perasaannya yang dipendam selama ini kepada Nadia. Tapi, Adi bahkan tidak tahu kalau Nadia pun mencintainya, karena Nadia belum mengungkapkan perasaannya kepada Adi.

Berkali-kali pun Adi menghapus isi pesan yang akan dikirimkan kepada Nadia. Apalagi telepon, lebih berat, rasanya, ia pun mengurungkannya. Sebenarnya ia ingin sekali terbang ke Kalimantan, menemui Nadia secara langsung. Tapi, bagaimana kalau sampai disana dia tidak bisa lagi melepas Nadia, lantas bagaimana dengan ibunya. Apa kata orang-orang di desanya. Aaargh!!! Ia mencintai Nadia, tapi ia lebih mencintai ibunya.

Adi sudah selesai merangkai pesan untuk Nadia. Dia pikir, kalimat inilah yang tepat untuk mengakhiri semuanya. Adi tidak berharap banyak Nadia akan mengerti semuanya. Tapi, jika suatu hari nanti, dia dipertemukan kembali dengan Nadia, dia berharap akan bisa menebus semuanya.

Sebuah pesan pun meluncur ke gawai Nadia. Dan, tanpa terasa air mata pun ikut terjatuh dari mata Adi. 'Maafkan, aku, Nad...'


Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Curriculum Vitae

Rahasia Sebuah Rasa

Rahasia Sebuah Rasa