Rahasia Sebuah Rasa

 Bagian III

Ketika Takdir Mempertemukan Kita Kembali


Suatu hari di bulan Mei tahun 2019.

"Wagelash!!! Naaaad!!!" teriak Asih dari meja kerjanya.

"APAAN!? YA ALLAH, NGGA USAH TEREAK-TEREAK, SIH!"

"Idih! Berasa kantor milik sendiri ya, Nad. Kamu, tuh yang teriak-teriak."

"Kaget, tau, Markonah!"

Asih terkekeh geli. Ia pun beranjak dan menghampiri Nadia ke mejanya. Untungnya, ruangan kerja mereka terpisah dari bagian yang lain. Harus melewati sebuah lorong jika menuju masuk ke ruangan mereka. Mau konser, mau ngadain demo masak, demo tagihan listrik naik, mau tidur, mau nonton drama Korea juga bebas.

Ruang kerja mereka merupakan ruangan besar bercat putih dan didominasi oleh partisi berwarna merah. Terdapat tiga ruangan kerja lagi didalamnya. Ruangan kasir, ruangan Department Head, dihuni oleh Pak Ribut-bos pertama Nadia dan Asih, si Bapak Sibuk, letaknya pas disebelah kasir, dan satu ruangan besar yang penuh pernak pernik oleh-oleh dari luar negeri, satu lemari kecil penuh buku, dan beberapa bingkai penghargaan berjejer tidak rapi di dinding. Itu ruangan Pak Bowo, bos besar geng, sang Kepala Manager.

Ditengah-tengah ruangan terdapat partisi meja bersekat-sekat terbagi menjadi empat meja kerja dengan masing-masing kursi berwarna hitam, disinilah Nadia bekerja, sang penguasa meja, bisa berpindah-pindah, sesuka hatinya. Ada dua lemari berkas yang berjejer rapi berwarna putih searah pintu masuk ruang kasir dan berada tepat didepan Nadia. Terlihat padat isinya, rasanya seperti akan meledak, dan memuntahkan seluruh bantex birunya. Sedangkan di ujung ruangan, masih ada partisi meja, terbagi menjadi empat juga, tak berpenghuni, kadang berdebu, mungkin ada makhluk lain yang 'menunggu' dan bekerja juga-khayal Nadia waktu itu, dan berhasil membuat Asih bergidik ngeri.

"Ke Jogja, yuk!" ajak Asih tiba-tiba.

"Jogja? Ngapain?"

"Jemuran baju," jawab Asih lempeng kayak peyek masuk angin, "Ada Eastlife mau konser, tauuuu!"

"Hah! Seriusan?"

"Ho-oh."

"Kapan?"

"Agustus, neng."

"Nonton!" kata Nadia cepat dan tegas.

"Akhir Agustus konsernya," jelas Asih sambil menggerogoti ujung pulpen. Tampak raut gelisah diwajahnya.

"Tanggal?" tanya Nadia.

"Akhir bulan. Pas!"

"Lah, terus, emang bisa kita cuti barengan? Pas tutup buku, Sih?" kata Nadia jadi tak bersemangat.

"Mudahan bisa. Pak Ribut harus setuju!"

***

"Ngga bisa!" seru Pak Ribut sambil terus menatap layar laptopnya keesokan harinya. Baik Nadia maupun Asih tertunduk lesu, "Kalau kalian cuti berdua, bersamaan waktunya, terus yang jaga kantor siapa?" Tanya Pak Ribut.

"Kan, ada bapak," celetuk Nadia langsung. Pak Ribut hanya menoleh sedikit sambil menurunkan kaca matanya. Asih terkikik geli.

"Ayolah, pak, sekali ini aja, kok." sambung Asih.

"Sekali-kali pak, nyenengin anak gadisnya, yeken, pak?" Nadia ikut menimpali sambil menebar senyum penuh tekanan kepada Pak Ribut.

"Nanti disana saya siap on call kok pak," janji Asih membuat Nadia langsung menoleh tajam.

"Waduh, maaf-maaf aja, nih, pak. Kalau saya jujur menolak ide Asih. Saya disanakan mau foya-foya, Astagfirullah, bukan pak, maksudnya mau senang-senang, menikmati liburan, masa di suruh on call juga," gerutu Nadia.

"Ya Allah, Nad. Untung-untung nanti diijinin liburan berdua," ujar Asih nelangsa.

"Yakan, pak? Coba, deh, kalau bapak ambil cuti, masa mau diganggu sama urusan kantor."

"Iya-iya," Jawab Pak Ribut sambil lalu. Seperti menikmati keonaran Nadia dan Asih. Sudah terbiasa dengan tingkah mereka berdua. Ribut, persis seperti namanya sendiri.

"Iya, nih, misal saya oke, terus sama Pak Bowo, gimana? Saya, sih, ngga jamin kalian diijinin cuti," kata Pak Ribut pada akhirnya.

"Jadi, bapak ijinin, nih?" tanya Nadia semangat berkobar.

"Hmmm," Pak Ribut hanya bergumam.

" Bapak ngga jelas, deh," sahut Asih manyun.

"Udaah,, anggap aja oke. Iya, kan, pak?" tanya Nadia dengan senyum berkembangnya.

***

"Ya Allah, Nad. Ngga nyangka Pak Bowo approved cuti kita yaa," ujar Asih kegirangan.

"Iya. Tapi, Pak Bowo malah ikut!" kata Nadia kesal.

"Yakan, kita ngga tahu juga kalau Pak Bowo ternyata fans beratnya Eastlife."

"Tobat-tobat. Ada gitu ya, perusahaan macam begini. Mau nonton konser, minta cuti, malah bos besar juga ikutan nonton, cuti juga, hedeh. Tapi, senang juga, sih. Nikmat mana lagi yang kamu dustakan. Yeken, Sih?" tanya Nadia.

"Sejutu!"

***

Sudah hampir lima tahun ini Nadia hijrah ke kota Bontang karena tuntutan pekerjaan. Dia bekerja di salah satu perusahaan tambang batu bara. Jarak dari Samarinda menuju ke Bontang kurang lebih sekitar tiga jam. Seminggu sekali itupun jarang bagi Nadia untuk pulang ke Samarinda. Kadang sebulan sekali atau hanya menanti munculnya tanggal merah saja. Selain karena alasan struktur jalanan Bontang-Samarinda yang bisa bikin seluruh badan bergoyang ke kanan dan ke kiri, atau bisa melayang di udara sepersekian detik karena driver tidak melihat ada jalan berlubang di depannya, keuntungan lembur di akhir pekan tentu tidak bisa ditolak demi terkumpulnya pundi-pundi tabungannya.

Setelah cutinya selama seminggu disetujui oleh Pak Bowo, Nadia segera bersiap-siap untuk kembali pulang ke kota Samarinda. Berbeda dengan Asih yang asli dari Bontang. Untungnya, perusahaan menyediakan bus jemputan khusus karyawan di setiap akhir pekan ke Samarinda. Protokol keselamatan seperti diwajibkannya menggunakan seat belt harus selalu dipatuhi. Bayangkan saja dulu, sewaktu belum ada bus jemputan, Nadia harus menggunakan travel gelap. Duduk berdesakan dengan penumpang asing yang lain. Penumpang asing yang mabuk perjalanan. Baru buka pintu saja sudah mulai hoek-hoek. Nadia hanya bisa membeku dan mulai membiru sepanjang jalan kenangan.

Hari cuti yang dinanti-nanti pun telah tiba. Selepas berpamitan dengan bapak dan ibunya, Nadia langsung meluncur ke Bandar Udara Internasional Aji Pangeran Tumenggung Pranoto, sekitar setengah jam perjalanan dari rumahnya.

Tak lama kemudian, Asih pun tiba dengan tergopoh-gopoh, "Duh, aku kira telat!" Aseem, ah, drivernya, keong bet, beb!" ujarnya sewot sepanjang perjalanan mereka menuju ke gate keberangkatan.

"Eh, kira-kira Pak Bowo nginep dimana, yah?" tanya Nadia kemudian, sesaat setelah mereka sudah mendapatkan seat di pesawat.

"Nah, ngga tau, tuh. Mau aku chat, tanyain dimana nginapnya, nih?" tanya Asih.

"Iya, sekalian tanyain kita bisa ikutan nginap juga ngga."

"Serius, Nad?!"

"Ya, engga-lah! Ya Allah, sih, berdoa aja ya semoga kita ngga satu hotel atau ketemu sama Pak Bowo,” ucap Nadia penuh harap. Asih mengangguk-anggukan kepala tanda setuju.

Pesawat pun mulai menukik tajam ke udara. Terkadang melakukan sedikit manuver kecil, sampai membuat Nadia memejamkan mata dan berdebar ngeri. Sekumpulan rumah dibawah sudah nampak seperti titik-titik kecil dan perlahan menghilang tertutup oleh awan putih tipis. Kini, mulai tergantikan oleh hamparan hutan hujan tropis yang lebat, dan terbelah oleh sungai yang panjang dan meliuk-liuk dan berujung di lautan yang biru dan membentang luas. Sudah sejauh ini rupanya, batin Nadia. Sudah saatnya tidur, karena pemandangan dari luar kaca pesawat akan tergantikan oleh segerombolan awan putih tebal saja. Malah membuatnya tambah bergidik ngeri, karena berada jauh sekali dari daratan nun jauh dibawah sana. 

Nadia mencoba sekuat tenaga memejamkan matanya, namun, sepertinya rasa takut karena kebanyakan nonton berita tentang kecelakaan pesawat membuatnya sangat susah untuk terpejam. Dia pun bersungut-sungut dan menyesali posisi duduknya yang tepat didekat jendela. Berulang kali ia menutup dan membuka tirai jendela, mencoba mencari posisi yang enak untuk tidur, namun, akhirnya ia memutuskan untuk membuka tirainya karena terganggu oleh lirikan mata dari penumpang pria yang duduk disebelah Asih. Mungkin dia terganggu atau merasa Nadia udik yang berasal dari planet antah berantah. 

Nadia pun merogoh gawainya. Membuka kamera, dan mengambil beberapa foto dan mengabadikannya. Ia segera mengaktifkan paket data dan membuka Acebook. 

'Terbang, berharap bertemu denganmu, Yogyakarta.'

 Tulisnya di caption dengan menyelipkan sebuah gambar berlatar langit dengan sedikit sinar matahari yang menembus awan. Bagian sayap pesawat turut mempercantik foto tersebut. Setelah selesai mempostingnya, ia segera mematikan paket datanya dan berlalu tidur.

**

Sementara itu, seorang pria dengan setelan jas berwarna hitam parlentenya, sedang duduk santai disebuah meja besar. Tampaknya sedang asyik membuka acebook. Perhatiannya pun tiba-tiba terfokus pada satu postingan. Wajahnya terlihat galau. Kemudian mengusap wajahnya seperti sedang kecapekan. 

“Nisa, pesankan aku tiket ke Yogya, ya. Kalau ada hari ini, mau jam berapapun, langsung issued aja,” kata pria itu tidak lama kemudian.

“Ah, mendadak Pak? Bapak cuti?” kata perempuan bernama Nisa dari seberang meja.

“Urusan keluarga. Mendadak,” jelasnya singkat

“Baik, pak!”


Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Curriculum Vitae

Rahasia Sebuah Rasa

Rahasia Sebuah Rasa