Rahasia Sebuah Rasa

 Bagian IV

Berdebar

Setiap Langkahku Untuk Menjauh Namun Takdir Membuatnya Dekat


Nadia menarik bantal dan langsung menutupi kepalanya sesaat mendengar alarm jam empat pagi bergema di dekat telinganya. Sedikit kesal karena suara alarm yang super nyaring itu dan sang empunya gawai-Asih tidak bergerak sedikit pun dari tidur lelapnya. Nadia pun mengintip sedikit dari balik bantalnya, dilihatnya gawai Asih - jam empat lewat lima menit, masih terlalu pagi, sholat subuh juga belum waktunya, ia pun berlalu melanjutkan tidurnya kembali setelah mematikan alarm dan menyembunyikan gawai Asih di dalam laci sebelah tempat tidurnya.

Nadia dan Asih menginap di salah satu hotel di daerah Magelang sekitaran Jalan Cempaka, kurang lebih 30 menit berkendara untuk sampai ke Candi Borobudur. Selama sepekan cuti, mereka sudah mengatur jadwal untuk berlibur seperti menguji suara alto mereka di Sungai Progo nanti, yang berbatasan langsung dengan halaman belakang hotel tempat mereka menginap. Mungkin, mereka akan melakukannya besok, karena hari ini waktunya mereka untuk menyaksikan konser Eastlife, boyband kesukaan mereka.

"Belum ada kabar dari Pak Bowo, ya?" tanya Nadia sambil menyantap sarapannya.

"Belum, nih. Kamu dari kemarin kuatir banget Nad sama Pak Bowo. Hehehe, telepon napa, Nad."

"Yakan biar begitu-begitu dia kan udah aku anggap orang tua, bapak. Dia kan punya penyakit gula, takut aja nanti kecapekan."

"Eh, iya ya. Kasihan. Eh, tapi denger-denger dia nanti sama keponakannya, kok!"

‘Oh, gitu. Bagus, deh. Eh, telepon nih Pak Bowo!” seru Nadia tersentak kaget setelah mendapat panggilan telepon dari Pak Bowo. 

“Panjang umur banget,” celetuk Asih.

Sementara Asih menikmati sarapannya selagi menunggu Nadia yang sedang teleponan dengan Pak Bowo, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sesosok pria yang sedang berdiri di lobby hotel dan memegang gawainya, sepertinya sedang mengecek sesuatu. Wajah Asih berubah menjadi semerah cabai, bukan karena kepedasan tapi karena tersipu bahagia. Akhirnya menemukan cowok ganteng juga di kota ini, banyak sih yang ganteng tapi ini beda! Batinnya menggelora. Hari Asih diawali dengan ketampanan paripurna pria itu, hatinya sungguh dibuat berbunga-bunga. “Ah, mau ketemu aku ya babang. Eneng disini, bang,” celotehnya sendiri sambil terus memelototi pria itu hingga menghilang dibalik pintu lift.

“Pak Bowo nginap disini juga, dong!” seru Nadia kemudian. 

“Eh, Nad. Tadi aku lihat cowok ganteng banget, Nad!” ucap Asih tidak menggubris omongan Nadia. 

“Alamak!” Nadia memiringkan kepalanya. “Pak Bowo sebentar lagi turun mau sarapan kayaknya, eh – itu orangnya,” katanya cepat setelah melihat Pak Bowo datang menghampiri mereka. 

“Eh, ketemu lagi,” kata Pak Bowo santai. Nadia nyengir kuda disambut Asih yang langsung mendekati Pak Bowo. “Bapak mau sarapan apa? Saya ambilkan ya, Pak?” kata Asih baik hati dan tidak sombong.

“Engga-engga. Saya ambil sendiri aja, makasih ya,” jawab Pak Bowo bergegas mengambil sarapannya. Trik Asih bekerja, akhirnya ia berhasil 'mengusir' Pak Bowo sebentar.

“Doa-mu ngga pake Bismillah sih, Nad,” kata Asih membuat Nadia terpuruk.

“Tungguin ngga, nih. Apa kita tinggal aja?” tanya Nadia kemudian.

“Berani?” tanya Asih balik. Nadia manyun pakai mewek. Tak berapa lama kemudian Pak Bowo sudah kembali ke meja makan, dengan membawa beberapa potong buah, sepiring kecil nasi kuning dengan lauk tempe, kesukaannya. 

“Sudah selesai kalian?” tanya Pak Bowo melihat piring makan Nadia dan Asih sudah kinclong. Mereka pun hanya mengangguk nyengir. “Saya sarapan sendirian, dong,” kata Pak Bowo penuh jebakan. 

“Kita tungguin kok pak, tenang aja,” kata Nadia sambil senyum dan membuat Asih melongo tak percaya. Biasanya saja kalau ketemu makan di kantin kantor langsung ditinggal pergi. 

“Wah, ngga apa-apa kalau mau pergi. Saya kebetulan juga sambil nungguin keponakan saya datang, kok.”

“Oh, gitu, pak! Keponakan bapak tinggal disini?” tanya Nadia kemudian. Menginterogasi.

“Iya, dekat sini aja. Eh – besok saya mau kerumahnya. Mau ikut?” ajak Pak Bowo.

“Wah, ngga bisa kayaknya pak. Besok saya sama Nadia mau ke Sungai Progo, dibelakang hotel ini. Mau arung jeram!” jelas Asih membuat Nadia membelalakan matanya seperti tokoh Suzanna.

“Wah, boleh juga, tuh. Kayaknya seru. Saya boleh ikut, kan?” tanya Pak Bowo, mengakibatkan dunia petualangan Nadia serasa runtuh. 

“Bahaya, pak. Emang bapak berani? Kalau ada apa-apa gimana?” tanya Nadia mencoba memperburuk keadaan.

“Kan, nanti ada keponakan saya. Jangan doain saya yang jelek-jelek, dong” pinta Pak Bowo tetiba membuat Nadia terharu sedih. Yah, sudahlah, kasihan juga Pak Bowo. Batinnya. Pak Bowo tinggal seorang diri. Istrinya berada di luar negeri beserta kedua anaknya. Pak Bowo asli Jakarta, jadi ketika bekerja di Bontang, Pak Bowo tinggal di mess perusahaan. Sering sakit-sakitan karena penyakit gulanya. Nadia pun menjadi merasa harus melindungi Pak Bowo selama di Jogjakarta ini.

“Bukan gitu, Pak. Saya sama Asih cuman kuatir. Tapi bener ya nih besok mau ikut?”

“Iya, saya ikut.” 

“Oke deh, Pak. Nanti info aja ya, sapa tau ngga jadi ikut. Hehehe. Terus ini kita kembali ke kamar duluan ngga apa-apa, Pak?” tanya Nadia kemudian.

“Iya ngga apa-apa. Sebentar lagi paling keponakan saya datang,” jawab Pak Bowo. Nadia dan Asih pun segera beranjak pergi meninggalkan Pak Bowo. Tak berapa lama kemudian seorang pria dengan setelan kemeja krem dipadu dengan jeans coklat menghampiri Pak Bowo dimejanya.

“Halo, om!” 

“Eh, udah sampai, Di? Sendirian aja? Istrimu ngga ikut?” tanya Pak Bowo memberondong Adi, keponakannya. Adi melihat meja Pak Bowo, memperhatikan ada dua piring bekas makan Nadia dan Asih. 

“Sendirian aja, Om. Wulang ngga bisa ikut. Lagi banyak kerjaan dikantor,” jawabnya sembari duduk, “Loh, ini piring makan bekas siapa, Om?” tanya Adi kembali.

“Oh, ini bekas anak buah gue, Di. Mereka mau nonton konser juga.” 

“Oh, begitu. Jadi, mereka dari Bontang ke Jogja buat nonton konser?” 

“Iya. Gara-gara mereka, gue juga jadi kepengen nonton,” Pak Bowo terkekeh, “Eh, terus besok sebelum balik, kita ikut mereka arum jeram dulu, ya. Katanya didekat sini, Sungai Progo.” 

“Oh, okey, Om! Om mau kemana aja, aku temenin!” 

***

“Aku jadi sedih, kan. Jadi ngga tega ninggalin Pak Bowo,” gerutu Nadia.

“Iya, kasihan tau Pak Bowo. Aku aja tadi sampe mau nangis.”

“Lebay!” 

Nadia dan Asih melenggang keluar dari lift dan berjalan santai menuju ke kamar mereka. Bersiap-siap untuk konser nanti malam. Ketika akan melewati belokan didepan, mereka berpapasan dengan seorang pria yang baru saja keluar dari kamarnya. Nadia menatap tajam pria itu. Kemudian mengernyit sipit. Bibirnya sedikit membuka. Pria itu pun menatap Nadia dalam. Matanya sedikit terbelalak. 

BIMA!!! NADIA!!! Nadia dan Bima sama-sama berteriak. Terkejut dengan pertemuan mereka.

“Kamu ada disini?” tanya Nadia kemudian, sambil menghampiri Bima. Bima pun ikut mendekat dan langsung meraih genggaman Nadia. 

“Ah, iya. Kamu disini juga,” jawab Bima sedikit gugup. Bima sebenarnya memang sengaja ke Jogjakarta, karena melihat postingan Nadia di acebook. Rasa rindu yang teramat dalam kepada Nadia, karena sudah lama tidak bertemu, membuat Bima memutuskan pergi ke Jogjakarta tanpa banyak berpikir sebelumnya.Ternyata takdir mempertemukan mereka lebih cepat dari dugaan Bima. Karena Bima pun tak sengaja memesan hotel yang sama dengan yang dipesan Nadia. Sebenarnya pun bukan alasan rindu kepada Nadia saja, ada alasan lain yang lebih penting dari itu. Dan sepertinya, inilah waktu yang tepat.

“Ada urusan apa di Jogja, Bim. Kerjaan, ya?” tanya Nadia lagi.

“Mmmmh (aduh jawab apa ini), engga sih, jalan-jalan aja” jawab Bima bingung.

“Jalan-jalan? Sendirian? Nia ngga diajak?” tanya Nadia lagi. Beberapa tahun yang lalu, selepas kepergian Bima ke Jakarta, Nia pun memutuskan untuk mengikutinya ke Jakarta. Cinta mati memang anak itu! Dan, entah bagaimana ceritanya, Nadia mendapat kabar bahwa Bima dan Nia sudah berpacaran. Mulai saat itulah, Nadia perlahan mundur dari kehidupan Bima. 

“Nia? Oh, dia lagi di Samarinda, ada acara keluarga,” jawab Bima bohong. Padahal, Nia sama sekali tidak mengetahui kepergian Bima ke Jogjakarta. Bima pun merasa bersalah kepada Nia, kenapa harus berbohong mengenainya kepada Nadia. Sekali lagi, dunia Bima teralihkan oleh Nadia. Wajah Nadia yang selalu ceria ketika bersamanya, matanya yang bulat dan membuat teduh ketika memandanginya, senyum manis yang selalu diberikan untuknya, rasa-rasanya dia tidak mau melepas genggaman ini. 

“Aarggh!” tiba-tiba saja Asih menggeram kesakitan sambil tertunduk dan memegangi perutnya. 

“Eh, Asih kamu kenapa?!” Nadia panik dan beralih ke Asih yang sedari tadi ternyata sedang menahan sakit.

“Awww, kekamar Nad, perutku sakit banget, huhu.” 

“Ngga ke dokter aja nih, Nad?” tanya Bima ikutan panik.

“Eh, iya, ayo ke dokter aja ya, Sih.”

“Engga-engga. Bucin aja aku, eh, bukan maksudnya butuh tidur, Nad,” katanya sambil nyengir kesakitan.

“Ya Allah nih anak sempat-sempatnya becanda. Kok mendadak begini sih, Asiiih. Kamu makan apa tadi?!” tanya Nadia mulai membopong tubuh Asih. “Eh, Bim, repot ngga, tolong bantuin, bisa?” pinta Nadia.

“Bisa. Ayo!” seru Bima cepat.

Nadia dan Bima pun membopong Asih bersama-sama menuju ke kamar. Nadia sepintas mencuri pandang kerah Bima. Dia tidak menyangka bisa bertemu Bima disini. Sudah beberapa tahun tidak bersama-sama lagi seperti dulu. Banyak perubahan yang dialami Bima. Sekarang Bima berpakaian lebih rapi. Wajahnya terlihat bersih terawat. Semakin memancarkan aura kegantengannya.

“Aku ke toilet dulu, Nad,” kata Asih sambil berjalan tergopoh-gopoh.

“Eh, bisa?”

“Bisaaaa,” jawab Asih sambil berlalu.

Bima masih berdiri didekat jendela. Dengan memasukkan kedua tangannya kedalam kantong celana. Nampak agak kikuk. Begitupun juga dengan Nadia. Dia sedang duduk dipinggiran kasur memainkan bibirnya. Tiba-tiba suasana menjadi canggung dan mereka pun bingung harus berkata apa. 

“Kamu baik?” tanya Nadia kemudian memecah kecanggungan.

“Ah, Alhamdulillah baik. Kamu?”

“Alhamdulillah. Mmmh,,, udah lama banget ya kita ngga ketemu.” 

“Banget. Hehe. Kan gara-gara kamu menghilang.”

“Menghilang apanya. Emang aku hantu!”

“Lah, emang begitu. Tiba-tiba ngga ada kabar,” jelas Bima. Nadia pun hanya tersenyum lalu menunduk dan mengalihkan pandangannya dari Bima. 

“Sengaja aku, tuh,” kata Nadia. Bima pun lalu mendekat dan duduk disampingnya. 

“Kenapa? Karena aku jadian sama Nia?” tanyanya kemudian. Langsung to the point. Nadia hanya bisa terdiam memandangi Bima. Airmatanya seperti ingin tumpah saat itu juga. “Jawab, Nad. Sebenarnya ada sesuatu hal yang mau aku bilang sama kamu, tapi, aku kayaknya juga butuh penjelasan dari kamu dulu, kenapa kamu menghilang?!” tanya Bima lagi. Wajahnya semakin mendekat kearah Nadia. Ditatapnya Nadia yang masih membisu dan terpaku dihadapannya. Dadanya tiba-tiba berdebar cukup cepat. Entah apakah Nadia bisa mendengarnya atau tidak. Bima mencengkeram tangannya. Tubuhnya seperti bergerak sendiri, ia semakin mendekat kearah Nadia. Dipandangi bibir mungil Nadia, ingin rasanya mengecup manis bibir itu. Wajah Bima dan Nadia pun seperti tidak ada penghalang lagi, bibir mereka sudah hampir bersentuhan, namun, Bima bergerak cepat dan langsung mengecup dahi Nadia, dan memeluknya erat. “Jangan menghilang lagi, Nad. Kamu ngga tau apa sakitnya menahan rindu?” kata Bima.

“Hei, kalian lagi berbuat asusila pas aku lagi sakit begini, hah?!” tanya Asih tiba-tiba mengagetkan Nadia dan Bima. Namun, Bima masih belum melepas pelukannya ke Nadia. 

“Eh, Asih, kamu ngga apa-apa?” tanya Nadia sambil melepas pelukan Bima dan beranjak berdiri menyambut Asih.

“Ternyata aku lagi datang bulan. Huhu. Gimana mau nonton konser nanti malam,” rengek Asih sambil merebahkan badannya.

“Kamu punya obat pereda nyeri, ngga? Nanti juga sembuh, bisa nonton, Sih,” ucap Nadia mencoba menenangkan Asih.

“Ada-ada. Aku bawa. Tapi reaksinya sebentar aja, abis itu sakit lagi. Ngga bakal bisa nonton aku, nih. Aku kalau datang bulan kayak orang diare sakitnya.” 

“Seriusan? Lah, kita ngga nonton nih beneran?” 

“Kalau aku nonton nanti bakalan ngerepotin kamu, Nad. Kamu nonton aja, aku dihotel.”

“Alamak. Seriusan ini, Sih?”

“Iya, Markonah! Sedih, sih. Tapi lebih sedih lagi uang tiket konser aku hangus gitu aja,” kata Asih mewek.

“Ya ampun, Asih. Kok jadi begini sih rencana kita. Emang aku bisa ninggalin kamu sendirian di hotel lagi sakit begini juga?”

“Kamu harus nonton, Nad. Kamu kan ngefans banget. Salah satu dari kita harus ada yang nonton, jangan biarkan perjalanan kita ini sia-sia,” kata Asih mencoba meyakinkan Nadia. 

“Mulai deh lebay-nya.”

“Huhu, terus tiket aku gimana ya, masih ada ngga ya yang mau gantiin tiket aku,” kata Asih sedih.

“Biar aku aja yang gantiin” kata Bima kemudian. Asih menoleh cepat. Sebuah senyum mengembang diwajahnya. Nadia langsung berdiri dari duduknya. Menatap dengan dalam ke arah Bima. Menghela nafas panjang. 

***

Sore hari perlahan menjelang. Nadia sudah berdandan rapi dengan memakai sebuah kaos oblong berwarna kuning dipadu dengan jaket jeans yang sengaja digulung sekali ditangannya dan membiarkan kancingnya terbuka. Sebagai bawahannya ia sengaja memakai celana botol coklat berbahan jeans dan sepasang sepatu olahraga. Rambutnya yang sebahu dibiarkannya tergerai begitu saja dan mengoleskan lipstik berwarna pink menerawang. Dipandanginya lagi wajahnya di kaca kamar mandi. Bibirnya mengulum. Ia geleng-gelengkan kepalanya. Diambilnya cepat tissue basah, dan menghapus lipstik dibibirnya, rambutnya pun langsung dikuncir kuda seadanya. Ia tersenyum kecil, malu. Teringat kembali kejadian bersama Bima tadi. Rasanya gila kalau diingat-ingat ia ingin mencium Bima. Atau Bima yang mau menciumnya? Nadia kembali menghela nafasnya. 

“Kamu udah baikan, Sih?” tanya Nadia setelah keluar dari kamar mandi dan melihat Asih masih berada di balik selimutnya. “AC-nya mau aku matiin?” 

“Engga, Nad. Aku baik-baik aja. Kamu udah siap?” tanya Asih sambil menyeruak keluar dari selimutnya. 

“Udah, nih.”

“Kayak mau kepasar aja, Nad.”

“Ih, kepasar pake daster. Terus pakai gaun? Emang mau prom night” jawabnya gusar, “Lagian kan kita nontonnya free seating, Sih. Mesti pakai pakaian yang nyaman,” terang Nadia.

“Eh, iya iya,” kata Asih sambil terkekeh. “Eh, ingat ngga pas sarapan tadi aku bilang ada liat cowok ganteng?” tanya Asih, dan Nadia pun mengangguk. “Ternyata Bima!” seru Asih membuat Nadia terbahak-bahak.

“Sayangnya kamu kurang beruntung, Sih. Bima-nya udah punya pacar,” terang Nadia sambil terkekeh geli.

“Tapi kok sama kamu kayak gitu banget.”

“Maksudnya?”

“Ya kayak kamu pacarnya!” seru Asih. Nadia langsung bengong. Geleng-geleng kepala tanda tidak setuju. 

“Udah, ya. Aku jalan dulu. Eh, kalau ada apa-apa langsung telepon resepsionis dibawah terus jangan lupa telepon aku. Ngerti, bos?!”

“Ashyiiiaaapp, bos!”

***

Nadia melempar pandang ke sekelilingnya. Sudah hampir seperempat jam dia berada di lobby, menunggu Bima. Lobby tampak ramai sekali dibandingkan kemarin. Mungkin karena ada konser Eastlife malam nanti, jadi banyak sekali pengunjung yang datang untuk menginap. Ada beberapa orang anak gadis yang sepertinya juga akan datang untuk menonton konser nanti malam, pakaiannya bertuliskan nama Eastlife semua. Nadia terperangah. Dia juga mau kaos seperti itu, gumamnya di hati.

“Hoi!” seru Bima menepuk pundak Nadia. Nadia tersentak kaget. 

“Grrrr. Kaget, Bim! Lama banget! Kemana aja?” 

“Cari ini,” jawab Bima sambil menyerahkan sebuah kantong belanja kepada Nadia. Nadia pun segera memungutnya. Merogoh kedalamnya. Dan mendapati sebuah kaos putih bertuliskan Eastlife disana. 

“Bim! Seriusan ini? Buat aku?” tanya Nadia tak percaya. 

“Aku udah pakai, dong!” seru Bima sambil membuka jaketnya dan menunjukkan kaosnya yang bertuliskan Eastlife. 

“Duh, jadi mewek. Aku barusan aja tepengen baju ini, Bim.”

“Ya udah cepetan ganti. Venue-nya udah mulai penuh orang tau.”

“Ya udah, aku ganti dulu, ya,” kata Nadia segera berlalu pergi.

“Eh-bentar!” seru Bima sambil mengejar Nadia lalu dengan cepat menarik ikat rambut dari kuncir Nadia. Seketika Nadia langsung menoleh ke belakang dengan geraian rambut yang terurai indah bak iklan shampo.

“Nah, begini kan lebih cantik, Nad,” kata Bima berhasil membuat Nadia tersipu malu. Nadia pun langsung mengambil ikat rambutnya dari tangan Bima dan berlalu pergi kembali. Ia berjalan cepat menembus kerumunan orang, takut sekiranya Bima melihat wajahnya yang masih memerah semerah kepiting rebus. 

Bima sendiri masih memperhatikan Nadia yang berlalu didepannya. Wajahnya tersenyum kecil. Tak pernah sebahagia ini sebelumnya. Bisa membuat wanita yang dicintainya tersenyum bahagia itu sudah seperti nafas baginya. Dirinya pun seketika terlihat galau kembali. Bagaimana ia bisa mengatakan yang sejujurnya kepada Nadia, bahwa dia akan segera melamar Nia dalam waktu beberapa bulan kedepan. Teringat kembali tiga bulan yang lalu, ketika almarhum Ayah dari Nia berpulang dan menitipkan amanah kepada Bima untuk segera meminang anaknya sebagai istri, dan ia pun mengiyakan.

Bima memijat kepalanya dengan sebelah tangan. Sungguh tampak raut penuh tekanan terlihat diwajahnya. Pedih yang ia rasakan saat ini, ketika tahu bahwa hatinya masih dimiliki oleh Nadia. Ingin rasanya memutar waktu, tanpa harus merasakan penyesalan seperti sekarang ini. Hanya Nadia yang bisa membuatnya terpukau, bisa membuatnya nyaman dan menjadi diri sendiri, tanpa gengsi dan hanya dengan Nadia-lah ia ingin menghabiskan sisa hidupnya. 

Ditengah-tengah kegalauan Bima, ia pun dikagetkan dengan sesosok pria yang begitu sangat dikenalnya. Adi. Bima melihat Adi melenggang didepannya. Ia mengedip-edipkan matanya beberapa kali untuk meyakinkan penglihatannya. Dilihatnya Adi muncul dari balik pintu lift dan menuju keluar hotel. Bima mengusap wajahnya dengan sebelah tangan dan lalu memasukkan kedua tangannya kedalam kantong celana. Bertambah raut kuatir di wajahnya kini. Terbersit di dalam hatinya, 'Apakah Nadia tahu ada Adi disini?’.

Beberapa saat kemudian, Nadia akhirnya muncul dengan baju baru pemberian Bima. Mereka pun memutuskan untuk segera menuju ke venue perhelatan konser. Sambil menunggu waktu konser dimulai, mereka pun menyempatkan diri untuk foto-foto di stand photobooth yang ada disana. 

“Wah, ada penyanyi kejutan ya buat yang datang cepet?!” seru Nadia berbinar-binar, ”Kira-kira siapa ya, Bim?” 

“Nad, selama disini sudah ketemu sama siapa aja?” tanya Bima balik tak menghiraukan Nadia. 

“Sama siapa? Maksudnya gimana, Bim?”

“Yah, maksudnya ngga sengaja ketemu teman lama, gitu.”

“Ooh,, mmmmh – ngga ada, sih. Paling ketemu sama bos aku aja, ya itupun karena ngga sengaja kita nginap di hotel yang sama,” jelas Nadia, “Ada apa, Bim?”

“Mmmh,, ngga ada apa-apa. Nanya doang, kiraian aja gitu,” jawab Bima. Nadia mengernyitkan dahinya. Bingung.

Dan hari pun semakin gelap. Konser Eastlife yang ditunggu-tunggu pun semakin mendekati puncak. Nadia dan Bima sudah duduk manis bersama penonton yang lain. Karena mereka memiliki tiket jenis Gold, jadi bebas mau duduk atau berdiri dimana saja. Duduk atau berdiri bebas dimana saja di sekitar pelataran Candi Borobudur alias di tanah maksudnya. Dalam hati Nadia pun bergumam, 'Ah, pasti Pak Bowo beli tiket yang VVIP deh, enak banget bisa ngeliat Eastlife dari dekat!'

Tak berapa lama kemudian ramai gemuruh suara riuh penonton. Ternyata penyanyi Iora yang menjadi mysterius guest dan berhasil membuat semua penonton termasuk Nadia bersorak kegirangan. Iora membawakan sejumlah lagu secara akustik. Para penonton pun dibuat mengikuti setiap alunan lagu yang dibawakannya. Kini, giliran Iora membawakan lagu berjudul Cinta dan Rahasia. Sebuah lagu yang menceritakan tentang perasaan cinta kepada sahabatnya, namun, sahabatnya itu malah memilih orang lain. Sebelum membawakan lagu Cinta dan Rahasia, Iora menambah panas suasana di malam Minggu itu. 

“Siapa yang pernah jatuh cinta sama sahabatnya? Tapi dia ternyata memilih orang lain? Mari kita nyanyikan sebelum menyambut Eastlife!" seru Iora.

Para penonton pun kembali dibuat bersorak riuh rendah dan tak terkecuali Nadia dan Bima langsung saling pandang satu sama lain. Nadia tersenyum kecil dan sedikit kikuk, sedangkan Bima hanya memperhatikan Nadia yang menjadi canggung disampingnya.

Baru sebaris bait, Iora kembali mengajak penonton menikmati suasana romantis sebelum Eastlife naik pentas.

"Boleh kalian pegang erat-erat tangan di samping kalian?” tanya Iora lagi. Nadia langsung tersentak kaget. Dadanya tiba-tiba berdebar hebat, ketika tangan Bima langsung meraihnya dan menggenggamnya dengan erat sekali. Ditengoknya Bima yang jangkung berdiri disampingnya, tak menoleh sedikit pun kepadanya, hanya terus menggenggamnya dan menatap kedepan. “Sudah dipegang erat ya semua? Sekarang aku pingin kalian teriak 'Jangan' sekeras-kerasnya ya!" kata Iora.

Seluruh penonton pun bak terhanyut dengan lagu Iora, mereka pun ikut bernyanyi, sehingga membuat suasana menjadi begitu romantis. Alunan musik yang lembut dan pencahayaan yang sedikit dibuat redup, menambah kehangatan dimalam itu. Dipandanginya kembali siluet Bima yang tampak samar-samar dari balik cahaya panggung. Nadia pun akhirnya membalas menggenggam tangan Bima. Ingin rasanya menghentikan waktu. Atau mengulang masa lalu. Disaat dimana seharusnya ia memberitahu Bima, bahwa sesungguhnya ia sangat mencintainya. 

Setelah hampir tiga jam lamanya berdiri menikmati musik-musik dari Iora dan Eastlife, akhirnya konser dimalam itupun berakhir dengan tepukan yang bergemuruh dari para penonton. Seluruh penonton tampak sangat puas dengan sajian konser di malam itu. 

Para penonton pun terlihat mulai meninggalkan tempat acara. Nadia dan Bima pun juga segera beranjak dan berjalan pelan karena berdesakan dengan penonton yang lain. Beberapa kali mereka harus berhenti karena begitu padatnya orang-orang yang datang di malam ini. 

Sesekali Nadia bahkan ingin terjerembab jatuh karena terdorong oleh desakan orang-orang. Dan dengan penuh sigap, Bima langsung merangkulnya dan terlihat sekali gestur tubuhnya yang ingin melindungi Nadia. Nadia lagi-lagi dibuat berdebar oleh Bima. 

“Kita cari makan dulu, yuk!” ajak Bima kemudian setelah mereka sudah berhasil keluar dari hiruk pikuk lautan manusia. 

“Okey!” jawab Nadia cepat. 

Mereka pun tiba disebuah jalan panjang yang di setiap pinggirannya sudah ramai orang-orang menjajakan dagangannya, seperti pasar malam tepatnya. Terdapat berbagai macam panganan, minuman, dan ada pula yang menjual mainan menyambut mereka disini. Nadia pun sudah sangat bersemangat sekali ingin mencicipi semua. ‘Aku mau itu!’, 'Ya ampuuun, inikan jajanan aku waktu kecil!’, 'Borong semua, Bim. Ini kelewatan banget enaknya!’, 'Mau ini juga!’. Bima pun hanya bisa tersenyum geli melihat Nadia begitu bersemangat sekali seperti orang yang kelaparan dan ingin melahap semua yang ada didepannya.

Mereka pun berhenti disebuah stand penjual Sop Senerek-Asih pesan tiga bungkus tadi. Makanan khas dari Kota Magelang. Dan tampaknya, sudah ada beberapa antrian orang yang akan membeli.

“Ya udah, Bim. Aku ngantri disini dulu, kamu yang beli minum ya.” 

“Siap! Tapi kalau aku belum datang, kamu jangan kemana-mana ya. Susah tau mau cari orang hilang ditempat begini.”

“Hehehe. Siap-siap. Sana-sana, gih!” 

Bima pun segera pergi dan meninggalkan Nadia mengantri Sop Serenek pesanan Asih. Sambil menunggu antriannya tiba, ia pun mengeluarkan gawainya. Membuka-buka acebook dan tak berapa lama kemudian tiba-tiba saja seseorang menabrak tubuhnya hingga terhuyung. Nadia pun hampir terjatuh ketanah, namun, seseorang segara menopang badannya. Ia segera menoleh cepat ke orang itu. Seorang pria bertopi, namun, cukup jelas terlihat wajahnya, dan Nadia sangat mengenal pria itu. Adi pun tampak cukup terkejut dengan kehadiran Nadia, wanita yang tak sengaja ditabraknya tadi dan sekarang sedang ditopangnya itu. Nadia beringsut cepat melepaskan badannya dan mundur beberapa meter menjauhi Adi. Sekarang mereka saling berhadapan dan bertatapan muka. Namun, Adi kehilangan kata-kata. Tubuh dan mulutnya serasa terkunci. Seperti melihat hantu disiang bolong. Dadanya cukup berdebar sekarang. Inikah jawaban dari doanya selama ini. Disaat dirinya sudah sangat ingin menyerah dan tenggelam dalam rasa penyesalan yang begitu dalam. Sedangkan Nadia pun terkejut dan ingin rasanya kabur dan menghilang dari tempat ini. Disaat dia sudah mulai bisa menata hatinya, bisa melupakan Bima maupun Adi dari kehidupannya, tapi mengapa takdir berkata lain. Dihari yang sama, ditempat yang sama dan waktu yang hampir bersamaan, dua orang yang dicintainya muncul kembali dan entah seperti apakah takdir akan memainkan peranannya. Sementara Adi dan Nadia saling terpaku menatap satu sama lain, hadir Bima dari kejauhan. Ia hanya bisa menatap keduanya saling beradu pandang. Entah mengapa ada perasaan takut yang teramat sangat muncul didalam hatinya kini. Rasa takut kehilangan yang teramat sangat dan ia tak ingin itu terjadi lagi pada dirinya.


Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Curriculum Vitae

Rahasia Sebuah Rasa